Jumat, 02 Januari 2015

sejarah jurnalistik



SEJARAH JURNALISTIK dan PERKEMBANGANNYA di INDONESIA

SEJARAH JURNALISTIK  DAN PERKEMBANGANNYA
Dalam perkembangan jurnalistik, terkait penentuan jurnalis pertama dan kapan kegiatan jurnalistik pertama dilakukan, para ahli senantiasa merujuk pada Romawi masa Julius Caesar (100-44 SM). Jules meneruskan tradisi raja-raja terdahulu untuk menyiarkan kabar mengenai keputusan senat di papan pengumuman, Acta Diurna. Jules berpikir, walaupun kekuasaannya tanpa batas, ia harus mendapatkan inisiasi dari publik Roma.
Istilah Jurnalis
Sejak saat itu, dikenal istilah Jurnalis yang berasal dari kata diurnalis atau mereka yang menjadi juru tulis senat. Padahal, jika para ahli sains percaya adanya agama, perkembangan jurnalistik sudah ada pada masa sebelum Jules. Misalnya, catatan Eumenes, 363 SM. Ia telah membuat kisah orang-orang ternama masa itu, dari Alexander yang agung sampai Aristoteles. Lebih jauh lagi beribu tahun ke belakang adalah masa Nabi Nuh.
Konon, saat banjir besar menghantam bumi atau berakhirnya zaman es, riak jurnalistik sudah terbangun. Nabi Nuh AS membutuhkan kabar yang akurat dan faktual tentang kondisi daratan. Dikirimlah jurnalis dadakan, namun bisa dipercaya karena memiliki kemampuan “radar magnetis” dan otak kecil alat navigasi di hidungnya. Ya, burung merpati.
Si Merpati barangkali pangkatnya seorang reporter investigasi yang diminta mencari tahu kadar kesurutan air. Merpati terbang berkeliling hingga menemukan ranting zaitun yang menyebul di lautan. Ranting itu dipatuk, lantas dibawa sehingga Nabi Nuh mengetahui kabar akurat mengenai surutnya air.
China
Pada perkembangan selanjutnya, tradisi tulisan berlanjut di China. Surat kabar pertama pun lahir, King Pao. Surat kabar yang mengabarkan titah kaisar. Lantas, jurnalis tulis menulis sedikit surat di zaman kegelapan Eropa walaupun mendapat tempat manis di Asia. Pada masa itu, orang Eropa mengandalkan para penyair dari hall ke hall untuk mengabarkan kisah para raja dan pahlawan.
Perkembangan berarti berlangsung pada abad pertengahan. Yakni, hadirnya mesin cetak. Guttenberg (1450), dengan izin Tuhan, benar-benar merevolusi dunia. Kehadiran mesin cetak telah membawa jurnalisme ke titik 100 persen. Kemudian, lahir media massa pertama di Eropa yang tidak ditujukan untuk para raja semata. Yakni, Gazzeta di Venesia.
Sebagaimana umumnya kota Italia yang menganggap raja atau doge sebagai patron, kota dan para pengurusnya bersikap mandiri. Kemandirian informasi di Venesia inilah yang melahirkan Gazzeta.
Amerika
Di Amerika Utara, perkembangan pers mengikuti sejarah unik penjajahan Inggris pada dataran kolonialnya. Orang kolonial Amerika Utara itu, bahkan, memulihkan nama journalism sebagai kegiatan pencarian berita. Sementara di tanah Inggris sendiri, lahir Oxford Gazzete. Nama newspapper mulai digunakan menggantikan Gazzete yang berbau pizza Italia.
Pada masa awal revolusi Industri, masa Descartes usai mencerahkan Eropa dengan filsafat ilmunya, jurnalistik mulai dipandang sebagai ilmu baru di ranah sosial. Karl Bucher dan Max Weber di Universitas Basel Swiss memperkenalkan cabang baru ilmu persuratkabaran, Zeitungkunde pada 1884.
Di Amerika Utara, lahirlah sekolah beken dalam urusan jurnalis, Columbia School of Journalism pada 1912 oleh Joseph Pulitzer. Pada abad ke-20, kepakaran dan profesi semakin mencair. Ilmu dan teori jurnalisme semakin berkembang, kode etik dilahirkan, teknik pemberitaan diperluas. Nama-nama harum, seperti Hunter S. Thompson, Hearst, atau Tom Wolfe, mengembangkan jurnalisme sebagai teknik dan konglomerasi.


SEJARAH JURNALISME DI INDONESIA
Pada awalnya, komunikasi antar manusia sangat bergantung pada komunikasi dari mulut ke mulut. Catatan sejarah yang berkaitan dengan penerbitan media massa terpicu penemuan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan kewartawanan sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timoer, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia.
Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi kewartawanan. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi.
Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia atau KP

Jurnalistik Indonesia Sebelum Merdeka
Di Indonesia pers mulai dikenal pada abad 18, tepatnya pada tahun 1744, ketika sebuah surat kabar bernama “Bataviasche Nouvelles” diterbitkan dengan perusahaan orang-orang Belanda. Surat kabar yang pertama sebagai bacaan untuk kaum pribumi dimulai tahun 1854 ketika majalah “Bianglala” diterbitkan, disusul oleh “Bromartani” pada tahun 1885, kedua-duanya di Weltevreden, pada tahun 1856 “Soerat Kabar Bahasa Melajoe” di Surabaya. Sejak itu bermunculanlah berbagai surat kabar dengan pemberitaan bersifat informatif, sesuai dengan situasi dan kondisi pada zaman penjajahan itu.
            Sejarah pers pada abad 20 ditandai dengan munculnya koran pertama milik Bangsa Indonesia. Modal dari bangsa Indonesia dan untuk bangsa Indonesia, yakni “Medan Prijaji” yang terbit di Bandung. Medan Prijaji yang dimiliki dan dikelola oleh Tirto Hadisuryo alias Raden Mas Djokomono ini pada mulanya, yakni tahun 1907 berbentuk mingguan, kemudian pada tahun 1910 diubah menjadi harian.
Tirto Hadisuryo ini dianggap sebagi pelopor yang meletakkan dasar jurnalistik modern di Indonesia, baik dalam cara pemberitaan, pemuatan karangan, iklan dan lain-lain. Setelah Boedi Oetomo lahir yang diikuti oleh gerakan-gerakan lainnya, baik yang berasaskan kebangsaan maupun yang berdasarkan keagamaan, jumlah surat kabar yang dikelola Indonesia semakin bertambah karena organisasi-organisasi tersebut menyadari bahwa untuk menyebarluaskan misinya diperlukan media massa, yang pada waktu itu hanya surat kabar-lah yang dapat dipergunakan.
Ditinjau dari sudut jurnalistik salah seorang tokoh bernama Dr. Abdoel Rivai dianggap sebagai wartawan yang paling terkenal karena tulisannya yang tajam dan pedas terhadap kolonialisme Belanda. Oleh Adinegoro, Dr. Rivai diberi julukan “Bapak Jurnalistik Indonesia” dan diakui oleh semua wartawan pada waktu itu sebagai kolumnis Indonesia yang pertama.
Jurnalistik Indonesia Pasca Kemerdekaan
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik pihaknya.
Pada tanggal 1 Oktober 1945 terbit Harian Merdeka sebagi hasil usaha kaum Buruh De Unie yang berhasil menguasai percetakan. Pada saat revolusi fisik itu jurnalistik Indonesia mempunyai fungsi yang khas. Hasil karya wartawan bukan lagi bermanfaat bagi konsumsi pembaca di daerah pedalaman, tetapi juga berguna bagi prajurit-prajurit dan laskar-laskar yang berjuang di Front. Berita yang dibuat para wartawan bukan saja mengobarkan semangat berjuang membela kemerdekaan, tetapi sekaligus sebagai alat pemukul terhadap hasutan-hasutan pihak Belanda yang disiarkan melalui berbagai media massanya.
Pada tanggal 1 Januari 1950 berlakulah UUD RIS, tetapi pada tanggal 15 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dan Indonesia menjadi Republik Kesatuan dengan UUDS. Pada waktu itu yakni waktu pengakuan kedaulatan sampai tahun 1959 yaitu munculnya doktrin demokrasi terpimpin yang kemudian disusul dengan ajaran Manipol Usdek, kebebasan pers banyak digunakan untuk saling mencaci-maki dan memfitnah lawan politik dengan tujuan agar lawan politiknya itu jatuh namanya dalam pandangan khalayak.
Antara tahun 1955 sampai 1958 dengan UU No. 23 tahun 1954 banyak surat kabar yang dibredel, banyak pula wartawan yang ditangkap dan ditahan. Tanggal 1 Oktober 1958 dapat dikatakan sebagai tanggal matinya kebebasan pers Indonesia. Sesudah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, pihak penguasa berturut-turut mengeluarkan peraturan untuk lebih mengetatkan kebebasan terhadap pers. Persyaratan untuk mendapatkan SIT diperkeras. Baru beberapa bulan peraturan itu berjalan, kemudahan lahir peraturan baru yang lebih mempersempit ruang gerak para wartawan yang hendak mengeluarkan pendapatnya dan pikirannya.
Departemen Penerangan mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa surat kabar atau majalah harus didukung oleh suatu partai politik atau tiga organisasi massa. Surat kabar di daerah yang semula masih dibenarkan memakai nama berbeda dengan organ resmi dari induk tempat ia berafiliasi di Pusat harus mengubah namanya sehingga sama dengan organnya di Jakarta. Akibat peraturan itu dapat dibayangkan bagaimana corak jurnalistik Indonesia pada waktu itu, ruang para wartawan dipersempit, keterampilan dikekang, daya pikir ditekan. Tahun 1966 bagi sejarah pers Indonesia merupakan tahun penting karena pada tahun itulah dikeluarkannya UU No. 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers.
Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, sejarah perkembangan pers dan jurnalistik Indonesia sejak saat itu menggembirakan dan membanggakan kita. Pada tahun 1988 tercatat ada 263 penerbitan pers, pada tahun 1992 jumlah tersebut meningkat menjadi 277 penerbitan pers.
Jurnalistik Indonesia  Zaman  Orde Baru
Selama dua dasawarsa pertama Orde Baru, 1965–1985, kebebasan jurnalistik di Indonesia, memang bisa disebut lebih banyak bersinggungan dengan dimensi, unsur, nilai, dan roh ekonomi daripada dimensi politik. Sebagai sarana ekonomi, pers dapat hidup dengan subur tetapi sebagai wahana ekspresi, penyalur pendapat umum, pengemban fungsi kontrol sosial, pers Indonesia dihadapkan pada berbagai pembatasan dan tekanan dari pihak penguasa pusat dan daerah. Orde Baru sangat menyanjung ekonomi namun membenci politik. Sepanjang 1980, fungsi pers masih mengalami penciutan, bersamaan dengan pengetatan pengendalian oleh pemerintah terhadap kegiatan politik dalam masyarakat. Fungsi utama pers sebagai komunikator informasi telah mengalami kemunduran sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagai sarana hiburan. Pers mengalami kepincangan terutama dalam bidang pendidikan politik.
Kebebasan jurnalistik, kebebasan pers, dalam dua dari tiga dasawarsa kekuasaan monolitik Orde Baru, hanya lebih banyak memunculkan kisah sedih daripada kisah sukses yang sejalan dengan amanat para pendiri bangsa seperti dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28 UUD 1945. Disebut sebagai era pers tiarap Orde Baru. Hanya dengan tiarap, dengan mengendap-endap pers kita diharapkan bisa tetap bertahan hidup. Strategi inilah yang dipilih sebagian pers nasional untuk meloloskan diri dari jebakan-jebakan kematian. Orde Baru pun akhirnya tumbang pada 21 Mei 1998, lahirlah kemudian apa yang disebut Orde Reformasi.
Jurnalistik Indonesia  Zaman  Reformasi
            Kebebasan jurnalistik berubah secara drastis menjadi kemerdekaan jurnalistik. Terjadi euforia di mana-mana kala itu.
            Secara yuridis, UU Pokok Pers No 21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No 40/1999. Dengan undang-undang baru dan pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers. Siapa pun bisa menjadi wartawan dan masuk organisasi pers mana pun. Hal ini ditegaskan pada Pasal 9 ayat (1) UU Pokok Pers No 40/1999, setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers. Ditegaskan lagi pada ayat (2), setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Kewenangan pers nasional itu sendiri sangat besar. Menurut Pasal 6 Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional melaksanakan peranan: (1) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (2) menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan,
(3) mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (4) melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhdap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, dan (5) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
            Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan diperjuangkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Hidup, menurut kaidah manajemen dan perusahaan sebagai lembaga ekonomi. Merdeka, menurut kasidah demokrasi, hak asasi manusia, dan tentu saja supremasi hukum.
Jurnalistik Indonesia Hari Ini
Setelah mengalami era kebebasan dan kemerdekaan selama sepuluh tahun, pers kembali dihadapkan kepada sesuatu yang dilematis. Di satu sisi, runtuhnya kekuasaan represif Orde Baru membuat dunia pers menikmati masa gemilang dengan kebebaan yang seolah tak terbatas. Namun, di sisi lain, liberalisasi pada akhirnya mengundang kekhawatiran publik.
Apakah pers harus mempertahankan atau mengerem kebebasan yang dimiliki. Dampak-dampak negatif akan bermunculkan dari kebebasan dan industrialisasi pers.
          Hal itu terjadi dengan adanya beberapa pers yang tidak menggunakan etika pers atau kode etik jurnalistik dalam melaksanakan kegiatan jurnalisme. Tidak adanya pembatasan yang ketat akan semakin membuat dunia pers terbawa arus liberalisasi. Contoh halnya pada media elektronik seperti televisi. Begitu banyak tayangan-tayangan yang memperlihatkan nilai yang jauh dari kewajaran. Seakan-akan kebebasan pers ini memberikan ruang gerak yang besar untuk bisa mengekspresikan segala hal, baik itu yang positif, terlebih yang negatif.
Teknologi Berpengaruh Besar Terhadap Sejarah Jurnalisme
Kegiatan jurnalisme terkait erat dengan perkembangan teknologi publikasi dan informasi. Pada masa antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam publikasi jurnalistik. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita bisa ditunda hingga malam hari dan mulai munculnya foto di surat kabar.
Pada 1893 untuk pertama kalinya surat-surat kabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu.
Pada 1920-an, surat kabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi.
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur sepanjang mungkin, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa.
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun.
Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Perusahaan-perusahaan media raksasa sudah merambah berbagai segmen pasar dan pembaca berita. Tidak hanya bisnis media cetak, radio, dan televisi yang mereka jalankan, tapi juga dunia internet, dengan space iklan yang tak kalah luasnya.
Setiap pengusaha media dan kantor berita juga dituntut untuk juga memiliki media internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama pasti memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Sedangkan pada tahun 2000-an muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja.
Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang memang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D. Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita.
Dalam penggunaan teknologi, Indonesia mungkin agak terlambat dibanding dengan media massa dari negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris. Tetapi untuk saat ini penggunaan teknologi di Indonesia –terutama untuk media televisi– sudah sangat maju. Lihat saja bagaimana Metro TV melakukan laporan live dari Banda Aceh, selang sehari setelah bencana gelombang tsunami melanda wilayah itu. Padahal saat itu aliran listrik dan telepon belum tersambung
Di Indonesia, perkembangan kegiatan jurnalistik diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan Indonesia pun menggunakan jurnalisme sebagai alat perjuangan. Di era-era inilah Bintang Timur, Bintang Barat, Java Bode, Medan Prijaji, dan Java Bode terbit.
Pada masa pendudukan Jepang mengambil alih kekuasaan, koran-koran ini dilarang. Akan tetapi pada akhirnya ada lima media yang mendapat izin terbit: Asia Raja, Tjahaja, Sinar Baru, Sinar Matahari, dan Suara Asia. Kemerdekaan Indonesia membawa berkah bagi jurnalisme. Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia (RRI) sebagai media komunikasi.
Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia (TVRI) muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Di masa kekuasaan presiden Soeharto, banyak terjadi pembredelan (pemberangusan) media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh nyata dalam sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan (Deppen) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI, pada 1998. Banyak media massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi kewartawanan. Kegiatan jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang dikeluarkan Dewan Pers.

 
Sumber:
 http://id.wikipedia.org/wiki/Jurnalisme
 http://jurnalistikmadingsma.blogspot.com/2012/10/sejarah-jurnalisme-di-indonesia.html

1 komentar:

  1. terima kasih artikel nya membantu sekali
    visit http://irwanteamedia.blogspot.com/

    BalasHapus