Kesetiakawanan
sosial atau rasa soliditas sosial merupakan potensi spiritual, komitmen bersama
sekaligus jati diri bangsa. Kesetiakawanan sosial dilandasi oleh sikap
pengertian, kesadaran, keyakinan tanggung jawab dan partisipasi sosial sesuai
dengan kemampuan dari masing-masing individu.Kesetiakawanan sosial juga
dilandasi dengan selalu bersesdia dalam keadaan apapun, saat sedih maupun
senang.
Dikatakan,
kesetiakawanan sosial dapat diwujudkan melalui kebersamaan, kerelaan berkorban
demi sesama, gotong royong dan kekeluargaan. Oleh karena itu Kesetiakawanan
Sosial merupakan nilai dasar kesejahteraan sosial dan modal sosial yang sangat
berharga dan harus terus digali, dikembangkan dan didayagunakan.
”Globalisasi
tidak hanya memberikan dampak positif tetapi juga menimbulkan dampak negatif
berupa individualisme, rasa cinta kasih sebagian besar orang semakin hilang
sehingga kehausan akan simpati, empati dan kepedulian merupakan harta yang tak
ternilai dan sangat dicari oleh manusia”, ungkap Kasau.
Hingga saat
isu mengeai kesenjangan sosial masih cukup menarik untuk dikaji, bahkan tak
akan pernah tuntas sampai kesenjangan itu benar-benar lenyap. Lantas, akankah
persoalan tersebut bisa tuntas dan lenyap ? Jawabannya tidak mungkin,
kesenjangan itu akan selalu menyertai kehidupan masyarakat manusia, di manapun
dan kapanpun.
Dengan
demikian, isu mengenai kesenjangan sosial akan selalu hadir, dan tak pernah
habis-habisnya. Kesenjangan sosial tak mungkin lenyap sama sekali, sedangkan
berbagai upaya yang selama ini begitu gencar dilaksanakan, seperti program anak
asuh, rehabilitasi sosial daerah kumuh, pemukiman suku terasing, pembinaan
pedagang asongan, atau program kesetiakawanan sosial lainnya, hanyalah
merupakan upaya untuk menekan tingkat kesenjangan sosial.
Pada seluruh
unit populasi manusia di seantero biosfir bumi ini, kesenjangan selalu ditemui
dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut muncul sebagai resluntan dari
interaksi antar individu denga individu, individu dengan kelompok, atau antar
kelompok dengan kelompok.
Dalam
interaksi tersebut, terdapat perbedaan taraf kemampuan atau kapasitas, baik
dari segi ekonomi, sosial, budaya, intelektual atau segi psikologis. Individu
manusia memiliki genotif dan fenotip yang berlainan, ada yang memiliki
keunggulan tertentu, ada pula yang memiliki kelemahan.
Total
keunggulan yang dimiliki oleh seluruh individu dalam populasi, akan menjadi
ciri dari keunggulan populasi atau kelompok tersebut. Begitu pula, suatu
keunggulan yang dimiliki oleh bangsa tertentu, akan menjadi ciri khas bangsa
tersebut. Umpamanya, bangsa Jepang yang dikenal karena keuletannya, atau bangsa
kita yang sejak lama dikenal karena semangat gotong-royong serta keramahannya.
Masing-masing individu, populasi atau kelompok masyarakat, dan bangsa tertentu,
memiliki keunggulan dan kelemahan tertentu. Perbedaan-perbedaan itulah yang
merupakan penyebab pokok dari adanya kesenjangan sosial.
Untuk
mengurangi tingkat kesenjangan sosial maka dicetuskan gagasan mengenai
pemerataan. Langkah pemerataan tak lain merupakan upaya untuk menekan tingkat
kesenjangan. Tetapi pemerataan di sini tidak dimaksudkan untuk membuat
segalanya serba rata, hingga tidak terdapat lagi jarak atau gap antar kelompok.
Lagi pula ide tersebut, tampaknya sangat tidak mungkin.
Bagaimanapun
gap itu selalu terjadi dalam interaksi antar individu, kelompok atau bangsa,
yang tak lain merupakan dampak eksternal dari adanya perbedaan potensi atau
sumberdaya yang dimiliki masing-masing individu, kelompok atau bangsa.
Selain itu,
ternyata gap tersebut menjadikan pola interaksi selalu dinamis. Dengan adanya
gap maka terciptalah hubungan buruh-majikan, klien-patron, debitur-kreditur,
dan sebagainya. Hanya masalahnya, bagaimana caranya supaya gap tersebut tidak
terlalu lebar, hingga kecemburuan dan keresahan sosial tidak terjadi.
Untuk itu di
antara kelompok-kelompok yang “berbeda” tersebut, harus terdapat pola interaksi
yang harmonis. Umpamanya antara kelompok buruh dan majikan harus terdapat
hubungan yang serasi dan seimbang, masing-masing menjalankan hak dan
kewajibannya sebagaimana mestinya.
Untuk
mengatur pola interaksi tersebut, maka harus ada semacam acuan. Umpamanya dalam
hal interaksi buruh-majikan di negara kita, perlu mengacu pada Hubungan
Industrial Pancasila (HIP). HIP tak lain merupakan konsep untuk menjembatani
kesenjangan antara buruh dan majikan.
Di negara
kita, buruh atau pekerja umumnya memiliki bargaining power yang relatif
lemah, yakni karena kuantitasnya berlebih sedangkan kualitasnya rendah. Dengan
adanya HIP, paling tidak buruh yang berkonotasi dengan “yang kecil”, kekuatan
menawarkan terhadap majikan yang berkonotasi dengan “yang besar” bisa
meningkat.
Dengan
demikian, salah satu kelompok “yang kecil” tersebut, dewasa ini mulai
memperoleh sentuhan. Bagaimanapun, buruh merupakan aset terpenting bagi sebuah
perusahan, sudah selayaknya untuk mendapatkan hak-haknya. Bahkan, dengan makin
digencarkannya penerapan pemerataan, maka kini buruh memiliki kemungkinan untuk
menjadi “pemilik” perusahaan, yakni dengan perolehan saham melalui koperasi.
Upaya
pemerataan juga ditujukan bagi kelompok-kelompok masyarakat kecil lainnya.
Melalui berbagai paket kebijaksanaan deregulasi dan debirokratisasi moneter dan
perbankan, maka kelompok pengusaha kecil juga mendapat sentuhan, di mana
berdasarkan ketentuan sekitar 20 persen kredit perbankan diperuntukan bagi
mereka. Paling tidak, para pengusaha kecil kini memeproleh bantuan modal,
manajemen dan pemasaran produknya.
Sebenarnya,
masih ada kelompok masyarakat “yang kecil” lainnya yang kurang tersentuh pembangunan.
Bahkan, mereka seolah merasa asing dengan pembangunan. Mereka bukan buruh atau
pengusaha kecil, mata pencaharian mereka tergolong “informal”, tidak tersentuh
koperasi atau kredit perbankan.
Mereka tak
lain dari masyarakat lapisan terbawah, yang umumnya dikatagorikan sebagai
penyandang masalah sosial. Yang termasuk dalam kelompok tersebut umpamanya para
gelandangan dan pengemis, yang umumnya bermukim di perkotaan. Tampaknya,
pemerataan akan sulit diterapkan pada lapisan masyarakat terbawah ini. Mengingat
begitu lebar kesenjangan yang telah terjadi. Mereka begitu tertinggal, oleh
sebab itu diperlukan bentuk penanganan khusus.
Jangan
sampai pembangunan yang sedang digalakan, makin menyudutkan posisi mereka,
karena terbentuk gap yang makin kokoh. Mengacu pada prinsip kesetiakawanan
social, selayaknya “yang kecil” pun harus secara bersama-sama ikut menikmati
hasil pembangunan. Dengan demikian, kesetiakawanan social sudah selayaknya
bukan sekedar slogan dengan bentuk kegiatannya yang temporer, tetapi harus
benar-benar kongkrit dan berkelanjutan. Dan upaya pemerataan tersebut, harus
dilakukan secara bersama-sama, melalui partisipasi proaktif berbagai pihak.
(Atep Afia).
Di mata
dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki peradaban
tinggi dengan entitas kesetiakawanan sosial yang kental, tidak tega melihat
sesamanya menderita. Kalau toh menderita, “harus” dirasakan bersama dengan
tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan
direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan “payung” kebesaran
“religi kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. ltulah yang membuat
bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Peristiwa 49 tahun yang lalu, benar-benar menjadi sebuah catatan sejarah yang tak pernah jenuh dibaca dan ditafsirkan. Dengan semangat “Tat twan Asi” (Aku adalah Engkau), rasa setia kawan menjelma dan bernaung turba dalam dada bangsa kita, sehingga mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Dalam
situasi yang sulit dan tidak menentu, akhirnya secara bertahap bangsa kita
mampu membuktikan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih eksis. Dan
puncaknya terjadi ketika terjadi Serangan Umum 1 Marei 1949 di bawah pimpinan
Komandan Brigade X, l.etkol Soeharto (mantan Presiden Rl) yang berhasil
menduduki Yogyakarta selama enam jam. Sukses tersebut jelas akan sulit diraih
tanpa internalisasi dan sikap apresiatif terhadap nilai kesetiakawanan sosial
di samping kecekatan dan kemampuan para pemimpin dalam menyiasati situasi.
Rasa Kemanusiaan
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Kini, masa-masa semacam itu sudah jauh melewat. Perjuangan fisik telah mengalami “transfigurasi” dalam bentuk kesuntukan memacu pertumbuhan ekonomi dan daya saing bangsa. Dalam keadaan demikian, kita justru harus semakin merapatkan barisan dalam suasana egaliter, rnengukuhkan tali persaudaraan, menebalkan rasa kemanusiaan menyuburkan rasa cinta kasih terhadap sesama, dan mengakarkan nilai kesalehan pribadi maupun sosial, dalam gerak dan langkah hidup kita agar “sukma” kesetiakawanan senantiasa menjadi basis komunitas sosial kita.
Di
penghujung tahun 1997 ini, negeri kita “digoyang” oleh serentetan “tragedi
dramatis” yang mengundang keprihatinan banyak kalangan. Kebakaran hutan,
kelaparan, dan gejolak moneter, merupakan tiga “lakon” yang tengah menguji
“akting” sosial kita terhadap para korban.
Saudara-saudara
kita di Lampung, Irian Jaya, dan sebagian Jawa, sangat membutuhkan uluran
tangan kita untuk menyantuni mereka sekadar untuk bisa bertahan hidup. Rasa
kemanusiaan kita benar-benar diuji. Kalau selama ini kita terus bersikutat
untuk menumpuk-numpuk harta, sikut sana sikut sini untuk memanjakan naluri
kesenangan dan kepangkatan, bahkan tidak jarang harus membudayakan upeti dan
amplop dalam memuaskan kebuasan hati, saudara-saudara kita justru memeras
keringat, air mata, bahkan darah, untuk bisa “survive” mempertahankan nyawanya.
Akselerasi
pembangunan yang telah mampu menjangkau kemakmuran dan tingkat taraf hidup yang
memadai, harus kita syukuri dengan banyak menyantuni kaum dhuafa yang nasibnya kurang
beruntung. Pemerintah lewat Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) — yang dirimis
sejak awal Repelita VI –setidaknya telah memberikan “patron” yang nyata dalam
upaya mengentaskan kemiskinan yang melilit sebagian saudara kita. Jika pada
tahun 1976 jumlah penduduk yang miskin masih sebesar 40 persen atau sekitar
54,2 juta orang, pada tahun 1993 telah berkurang menjadi 14 persen atau 25,9
juta jiwa, dan pada tahun 1996 tinggal 11,3 persen atau sekitar 22,6 juta
orang. Upaya pengentasan kemiskinan ini jelas memerlukan kepedulian kita semua,
bukan sekadar ingin membantu suksesnya program pemerintah, melainkan justru
yang lebih penting “menyelamatkan” mereka yang dhaif secara ekonomi dari proses
segregasi sosial yang bisa memicu pecahnya konflik, kecemburuan, atau kekerasan
sosial.
Para pakar
sosiologi mengemukakan bahwa tekanan ekonomi yang berat bisa menjadikan
seseorang atau kelompok sosial tertentu mengalami frustrasi akibat merasa
tersingkir dari persaingan hidup komunitasnya. Imbasnya, jika mereka mendapatkan
kesempatan untuk melampiaskan frustrasinya, aksi kekerasan dan kerusuhan sosial
menjadi cara yang jitu dan “sah” bagi mereka.
Lebih-lebih
gaya hidup orang kaya baru (the new rich) yang pamer kekayaan, sungguh
mempraktekkan pola hidup konsumtif yang kontras secara diametral dengan
hidupnya yang serba tertekan, maka kemungkinan terjadinya konflik dan kerusuhan
semakin terbuka.
Konsumtivisme
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Pembangunan ekonomi negeri kita yang telah berlangsung selama tiga puluh tahun terakhir ini, menurut AE Priyono (1997), ternyata telah melahirkan suatu kelompok sosial yang konsumtif. Mereka tinggal di kota-kota besar, mengonsumsi sekitar lebih dari sepertiga pendapatan nasional, amat gemar berbelanja, memiliki rumah dan mobil-mobil mewah, bergaya hidup glamor, menjadi anggota berbagai klub eksekutif yang mahal, tetapi cenderung bersikap cuek pada gagasan-gagasan perubahan.
Merebaknya
“doktrin” konsumtivisme ini, agaknya telah telanjur menjadi sebuah kelatahan
seiring merebaknya pola hidup materialistik dan hedonistis, yang melanda
masyarakat modern. Manusia modem, menurut Hembing Wijayakusuma (1997) telah
melupakan satu dari dua sisi yang membentuk eksistensinya akibat keasyikan pada
sisi yang lain. Kemajuan industri telah mengoptimalkan kekuatan mekanismenya,
tetapi melemahkan kekuatan rohaninya. Manusia telah melengkapinya dengan
alat-alat industri dan ilmu pengetahuan eksperimental dan telah meninggalkan
hal-hal positif yang dibutuhkan bagi jiwanya. Akar-akar kerohanian sedang
terbakar di tengah api hawa nafsu, keterasingan, kenistaan, dan
ketidakseimbangan.
Akibat
pemahaman pola hidup yang salah semacam itu, disadari atau tidak, telah
melumpuhkan kepekaan nurani dan moral serta religi. Sikap hidup instan telah
melenyapkan budaya “proses” dalam mencapai sesuatu. Sikap sabar, tawakal, ulet,
telaten, dan cermat, yang merupakan entitas kebersahajaan dan kejujuran telah
tersulap menjadi sikap menerabas, pragmatis, dan serba cepat. Orang pun jadi
semakin permisif terhadap perbuatan-perbuatan yang tidak jujur di sekitarnya.
Budaya suap, kolusi, nepotisme, atau manipulasi anggaran sudah dianggap sebagai
hal yang wajar. Untuk mengegolkan ambisi tidak jarang ditempuh dengan cara-cara
yang tidak wajar menurut etika.
Kesibukan
memburu gebyar materi umuk bisa memanjakan selera dan naluri konsumtifnya,
membuat kepedulian terhadap sesama menjadi marginal. Jutaan saudara kita yang
masih bergelut dengan lumpur kemiskinan, kelaparan, dan keterbelakangan, luput
dari perhatian.
Fenomena di
atas jelas mengingkari makna kesetiakawanan sosial yang telah dibangiun para
pejuang pada masa revolusi fisik, mengotori kesucian darah jutaan rakyat yang
telah menjadi “tumbal” bagi kemakmuran negeri ini.
Sebagai
bangsa yang memiliki peradaban tinggi di mata dunia, bagaimana pun harus
memiliki good will (kemauan baik) untuk mengondisikan segala bentukpenyimpangan
moral, agama, dan kemanusiaan, pada keagungan dan kebenaran etika yang sudah
teruji oleh sejarah. Budaya kita pun kaya akan analogi hidup yang bervisi
spiritual dan keagamaan. Jika kultur kita yang sarat nilai falsafinya itu kita
gali terus, niscaya akan mampu menumbuhkan keharmonisan dan keseimbangan hidup,
sehingga mampu mewujudkan paguyuban hidup sosial yang jauh dari sikap hipokrit,
arogan, dan bar-bar.
Ketika
memberikan wejangan kepada para dalang dalam rangka “Rapat Paripurna PEPADI
1995″ di Jakarta, Presiden Soeharto pernah menggunakan analogi lakon
wayang“Makutha Rama” yang memuat ajaran Asthabrata, sebuah ajaran luhur tentang
perilaku hidup yang pernah diterima Arjuna dari Begawan Kesawawidhi. Ajaran ini
membuat delapan watak alam yang bisa dijadikan sebagai “simbol moralitas”
manusia dalam memperkukuh tali kesetiakawanan sosial akibat semakin dahsyatnya
arus konsumtivisme, materialisme, dan hedonisme yang melanda masyarakat modern.
Pertama,
watak bumu, simbol karakter manusia yang mau memeratakan kekayaannya kepada
siapa pun tanpa pilih kasih. Kedua, watak matahari, mampu memberikan
penerangan, kehangatan, dan energi secara merata kepada mereka yang
membutuhkan. Ketiga, watak bulan, mampu membahagiakan orang lain dengan penuh
sentuhan kelembutan cinta dan kasih sayang terhadap sesama. Keempat, watak
angin, bersikap adaptif dan bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membedakan
status, agama, atau ras.
Kelima,
watak samudra, mampu menampung keluhan, aspirasi. dan masukan orang lain dengan
tingkat kesabaran yang tinggi. Keenam, watak air, bersikap adil dan ikhlas,
tidak arogan, tidak mau menang sendiri, dan memiliki semargat persaudaraan yang
tinggi terhadap sesama. Ketujuh, watak api, memiliki kekuatan pelebur yang
mampu memecahkan masalah yang muncul. Dan kedelapan, watak bintang, tegar,
tangguh, dan tidak mudah tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.
“wacana”
kesetiakawanan sosial, agaknya akan tetap penting dan relevan serta kontekstual
sepanjang sejarah peradaban manusia, apalagi ketika zaman yang muncul sudah
semakin buram oleh perilaku manusia yang mengerdilkan nilai-nilai agama, moral,
dan kemanusiaan. Diperlukan internalisasi dan apresiasi yang tinggi untuk
mengaktualisasikannya, sehingga muncul sikap responsif ketika melihat sesamanya
yang terlunta-lunta dalam kelaparan dan kemiskinan.
Ketika baru
saja berhasil menumpas Pemberontakan PKI Madiun, secara mendadak Belanda
melancarkun aksi militernya yang kedua, 19 Desember 1945. Dengan taktik “
perang kilat”, Belanda melancarkan serangan di semua front wilayah Republik
Indonesia. Pangkalan Maguwo Yogyakarta menjadi basis serangan hingga akhirnya
berhasil menduduki ibukota Yogyakarta. Prajurit RI bergerak mundur dengan
siasat gerilya. Jenderal Soedirman sebagai pemegang komando tak henti-hentinya
memberikan “suntikan” dan kekuatan batin kepada seluruh rakyat dan prajurit RI.
Dengan semangat setia kawan yang tinggi, seluruh rakyat dan prajurit kita terus
berjuang, bahu-membahu, saling rangkul, dan saling berkorban dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan.
Oleh karena
itu, sebagai manusia sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan memiliki begitu
banyak tetangga yang bisa dijadikan saudara kita seharusnya bias lebih
meningkatkan rasa kemanusiaan kita kepada semuanya tidak terkecuali. Tidak
memandang harta,martabat dan kedudukan. Sesungguhnya kita di dunia ini adalah
sama, jadi tidak perlu kita bangga-banggakan dengan apa yang kita miliki. Jika
kita menghilangkan hal tersebut maka kejadian-kejadian yang bersifat negatif
pasti tidak terjadi di lingkungan kita.
Menurutnya,
sebagai prajurit dan keluarga besar Angkatan Udara, kebersamaan dan
kesetiakawanan sosial diwujudkan melalui pengabdian terhadap tugas yang
diemban. TNI Angkatan Udara berupaya mendekatkan diri kepada rakyat melalui
berbagai kegiatan yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung seperti
keterlibatan TNI AU dalam operasi militer selain perang terutama dalam
penanggulangan bencana.
Pernyataan
tersebut disampaikan Kasau Marsekal TNI Imam Sufaat SIP pada acara perayaan
Natal TNI Angkatan Udara di Mabesau, Cilangkap, Selasa (18/1). Diikuti seluruh
anggota militer dan PNS yang beragama Nasrani serta dihadiri Asops Kasau Marsda
TNI Ignatius Basuki, Ketua umum PIA Ardhya Garini Ny Maya Imam Sufaat, Wakil
Ketua umum PIA Ardhya Garini Ny Sukirno, Waasops Marsma TNI Bambang Sulistyo,
Kadiswatpers Marsma TNI Potler Gultom. Rohaniawan TNI AU Romo Hari Susanto PR,
Romo Ulun dari pejompongan dan Pendeta Tobing sebagai penceramah Natal.
REFERENSI:
http://sawali.info/2007/07/15/kesetiakawanan-sosial-versus-masyarakat-konsumtif/
http://trimiyati.web.ugm.ac.id/wordpress/?p=6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar