Perbedaan
Kepentingan
Kepentingan
merupakan dasar dari timbulnya tingkah laku individu. Individu bertingkah laku
karena adanya dorongan untuk memenuhi kepentingannya, sama halnya dengan
konflik. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan
kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan
hilangnya masyarakat itu sendiri.
Banyak
rakyat dan pemimpin negara yang mempunyai argumen masing-masing untu
kepentingannya. Namun Kadang juga secara terioristis, perbedaan kepentingan
dapat menimbulkan masalah yang besar bagi orang yang melakukanya. Dipandang
sebagai perilaku, konflik merupakan bentuk minteraktif yang terjadi pada
tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan organisasi.
Konflik ini terutama pada tingkatan individual yang sangat dekat hubungannya
dengan stres. Ada pun dibawah ini yang merupakan bagian dari faktor penyebab
konflik :
Perbedaan
individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.
Perbedaan
latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda.
Perbedaan
kepentingan antara individu atau kelompok.
Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Namun
dibalik konflik tersebut terdapat sebuah Lubang hitam yang begitu besar yang
bisa menghantui siapa saja , dibawah ini merupakan akibat dari konflik :
meningkatkan
solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan
kelompok lain.
keretakan
hubungan antar kelompok yang bertikai.
perubahan
kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
dll.
Prasangka, Diskriminasi dan Etnosentrisme
Prasangka berarti membuat keputusan
sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah
ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi
yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya
prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang
menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional
John E.
Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori.
- Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang
dianggap benar.
- Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai
dan tidak disukai.
- Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana
kecenderungan seseorang dalam bertindak.
Beberapa
jenis diskriminasi terjadi karena prasangka dan dalam kebanyakan masyarakat
tidak disetujui.
Diskriminasi merujuk kepada pelayanan yang
tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan
karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan
suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan
karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain.
Ketika
seseorang diperlakukan secara tidak adil karena karakteristik suku,
antargolongan, kelamin, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi
fisik atau karateristik lain yang diduga merupakan dasar dari tindakan
diskriminasi
Diskriminasi
langsung, terjadi
saat hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan karakteristik
tertentu, seperti jenis kelamin, ras, dan sebagainya, dan menghambat adanya
peluang yang sama.
Diskriminasi
tidak langsung, terjadi
saat peraturan yang bersifat netral menjadi diskriminatif saat diterapkan di
lapangan.Diskriminasi ditempat kerja
Diskriminasi
dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk:
- dari
struktur upah,
- cara
penerimaan karyawan,
- strategi
yang diterapkan dalam kenaikan jabatan, atau
- kondisi
kerja secara umum yang bersifat diskriminatif.
Diskriminasi
di tempat kerja berarti
mencegah seseorang memenuhi aspirasi profesional dan pribadinya tanpa
mengindahkan prestasi yang dimilikinya.
Teori
statistik diskriminasi berdasar pada pendapat bahwa perusahaan tidak dapat
mengontrol produktivitas pekerja secara individual. Alhasil, pengusaha
cenderung menyandarkan diri pada karakteristik-karakteristik kasat mata,
seperti ras atau jenis kelamin, sebagai indikator produktivitas, seringkali
diasumsikan anggota dari kelompok tertentu memiliki tingkat produktivitas lebih
rendah.
Etnosentrisme cenderung
memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme memandang dan
mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri. “ ( The Random House Dictionary
).
Ada satu
suku Eskimo yang menyebut diri mereka suku Inuit yang berarti “penduduk sejati”
[Herbert, 1973, hal.2]. Sumner menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme,
yang secara formal didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri”
adalah pusat segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai
dengan standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan
kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme
terjadi jika masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak
bercampur dengan kebudayaan lain. Porter dan Samovar mendefinisikan
etnosentrisme seraya menuturkan, “Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap
adalah etnosentrisme, yaitu kecenderungan memandang orang lain secara tidak
sadar dengan menggunakan kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri
sebagai kriteria untuk penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka,
makin dekat mereka dengan kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka
dari kita. Kita cenderung melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita
sendiri, sebagai yang paling baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita. Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri.
Sebagian besar, meskipun tidak semuanya, kelompok dalam suatu masyarakat bersifat etnosentrisme. Semua kelompok merangsang pertumbuhan etnosentrisme, tetapi tidak semua anggota kelompok sama etnosentris. Sebagian dari kita adalah sangat etnosentris untuk mengimbangi kekurangan-kekurangan kita sendiri. Kadang-kadang dipercaya bahwa ilmu sosial telah membentuk kaitan erat antara pola kepribadian dan etnosentrisme.
Kecenderungan etnosentrisme berkaitan erat dengan kemampuan belajar dan berprestasi. Dalam buku The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menemukan bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Dalam pendekatan ini, etnosentrisme didefinisikan terutama sebagai kesetiaan yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain. Yang artinya orang yang etnosentris susah berasimilasi dengan bangsa lain, bahkan dalam proses belajar-mengajar.
Etnosentrisme akan terus marak apabila pemiliknya tidak mampu melihat human encounter sebagai peluang untuk saling belajar dan meningkatkan kecerdasan, yang selanjutnya bermuara pada prestasi. Sebaliknya, kelompok etnis yang mampu menggunakan perjumpaan mereka dengan kelompok-kelompok lain dengan sebaik-baiknya, di mana pun tempat terjadinya, justru akan makin meninggalkan etnosentrisme. Kelompok semacam itu mampu berprestasi dan menatap masa depan dengan cerah.
Etnosentrisme mungkin memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan” seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik. Kalangan kolot, yang terasing dari masyarakat, yang kurang berpendidikan, dan yang secara politis konservatif bisa saja bersikap etnosentris, tetapi juga kaum muda, kaum yang berpendidikan baik, yang bepergian jauh, yang berhaluan politik “kiri” dan yang kaya [Ray, 1971; Wilson et al, 1976]. Masih dapat diperdebatkan apakah ada suatu variasi yang signifikan, berdasarkan latar belakang sosial atau jenis kepribadian, dalam kadar etnosentris seseorang.
Pertentangan
Sosial/Ketegangan Dalam Masyarakat
Konflik
mengandung pengertian tingkah laku yang lebih luas daripada yang biasa
dibayangkan orang dengan mengartikannya sebagai pertentangan yang kasar.
Terdapat tiga elemen dasar yang merupakan ciri dasar dari suatu konflik, yaitu
:
- terdapat dua atau lebih unit-unit atau bagian
yang terlibat dalam konflik
- unit-unit tersebut mempunyai
perbedaan-perbedaan yang tajam dalam kebutuhan, tujuan, masalah, sikap,
maupun gagasan-gagasan
- terdapat interraksi diantar bagian-bagian yang
mempunyai perbedaan tersebut
Konflik
merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi tertentu yang
sering dihubungkan dengan kebencian atau permusuhan, konflik dapat terjadi pada
lingkungan diri seseorang, kelompok, dan masyarakat. Adapun cara pemecahan
konflik tersebut :
Elimination,
pengunduran diri dari salah satu pihak yang terlibat konflik
Subjugation
atau Domination, pihak yang mempunyai kekuasaan terbesar dapat memaksa pihak
lain untuk mengalah
Majority
Rule, artinya suara terbanyak yang ditentukan dengan voting
Minority
Consent, artinya kelompok mayoritas yang menang, namun kelompok minoritas tidak
merasa dikalahkan dan menerima keputusan serta kesepakatan untuk melakukan kegiatan
bersama
Compromise,
artinya semua sub kelompok yang terlibat dalam konflik berusaha mencari dan
mendapatkan jalan tengah
Integration,
artinya pendapat-pendapat yang bertentangan didiskusikan, dipertimbangkan, dan
ditelaah kembali sampai kelompok mencapai suatu keputusan yang memuaskan bagi
semua pihak
a.
Masyarakat majemuk dan Nasional Indonesia
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kekuatan nasional yang berwujud Negara Indonesia. Untuk lebih jelasnya dikemukakan aspek dari kemasyarakatan tersebut:
1. Suku bangsa dan kebudayaan, Indonesia terdiri dari sejumlah suku bangsa dengan berbagai kebudayaan.
2. Agama, Indonesia memiliki toleransi yang besar terhadap berbagai kepercayaan.
3. Bahasa, pada suku-suku bangsa yang bermacam-macam itu terikat oleh bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
4. Nasional Indonesia, adalah merupakan kesatuan solidaritas yang terbentuk sebagai hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Masyarakat Indonesia digolongkan sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan sosial yang dipersatukan oleh kekuatan nasional yang berwujud Negara Indonesia. Untuk lebih jelasnya dikemukakan aspek dari kemasyarakatan tersebut:
1. Suku bangsa dan kebudayaan, Indonesia terdiri dari sejumlah suku bangsa dengan berbagai kebudayaan.
2. Agama, Indonesia memiliki toleransi yang besar terhadap berbagai kepercayaan.
3. Bahasa, pada suku-suku bangsa yang bermacam-macam itu terikat oleh bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
4. Nasional Indonesia, adalah merupakan kesatuan solidaritas yang terbentuk sebagai hasil perjuangan kemerdekaan Indonesia.
b.
Intergrasi
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan.
Variable-variabel yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi adalah:
1. Klaim/tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya.
2. Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antara warga Negara Indonesia asli dan keturunan (Arab/Cina).
3. Agama, sentiment agama dapat digerakan untuk mempertajam perbedaan kesukuan.
4. Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu.
Masalah besar yang dihadapi Indonesia setelah merdeka adalah integrasi diantara masyarakat yang majemuk. Integrasi bukan peleburan, tetapi keserasian persatuan.
Variable-variabel yang dapat menjadi penghambat dalam integrasi adalah:
1. Klaim/tuntutan penguasaan atas wilayah-wilayah yang dianggap sebagai miliknya.
2. Isu asli tidak asli, berkaitan dengan perbedaan kehidupan ekonomi antara warga Negara Indonesia asli dan keturunan (Arab/Cina).
3. Agama, sentiment agama dapat digerakan untuk mempertajam perbedaan kesukuan.
4. Prasangka yang merupakan sikap permusuhan terhadap seseorang anggota golongan tertentu.
c. Integrasi
sosial
integrasi sosial (masyarakat) dapat diartikan adanya kerja sama dari seluruh anggota masyarakat mulai dari individu, keluarga, lembaga masyarakat secara keseluaruhan.
Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, merupakan bukti sejarah perwujudan solidaritas sosial yang begitu kental antar golongan pemuda. Pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal mengembangkan budaya bangsa seluruhnya, sehingga menjadi modal dasar bagi terwujudnya Integrasi sosial-Integrasi Nasional.
integrasi sosial (masyarakat) dapat diartikan adanya kerja sama dari seluruh anggota masyarakat mulai dari individu, keluarga, lembaga masyarakat secara keseluaruhan.
Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, merupakan bukti sejarah perwujudan solidaritas sosial yang begitu kental antar golongan pemuda. Pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah satu corak ragam budaya yang menggambarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal mengembangkan budaya bangsa seluruhnya, sehingga menjadi modal dasar bagi terwujudnya Integrasi sosial-Integrasi Nasional.
d. Integrasi
nasional
1. Beberapa permasalahan integrasi nasional
a) Perbedaan Ideoloogi
b) Kondisi masyarakat yang majemuk
c) Masalah territotial daerah yang berjarak cukup jauh
d) Pertumbuhan partau politik
2. Upaya pendekatan
1. Beberapa permasalahan integrasi nasional
a) Perbedaan Ideoloogi
b) Kondisi masyarakat yang majemuk
c) Masalah territotial daerah yang berjarak cukup jauh
d) Pertumbuhan partau politik
2. Upaya pendekatan
Upaya yang
dilakukan untuk memperkecil atau menghilangkan kesenjangan-kesenjangan itu
antara lain:
• Mempertebal keyakinan seluruh warga Negara terhadap ideolgi nasional
• Membuka isolasi antar berbagai kelompok dengan membangun sarana komunikasi, informasi, dan ttranspormasi
• Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
• Membentuk jaringan asimilasi bagi berbagai kelompok etnis baik pribumi atau keturunan asing
• Mempertebal keyakinan seluruh warga Negara terhadap ideolgi nasional
• Membuka isolasi antar berbagai kelompok dengan membangun sarana komunikasi, informasi, dan ttranspormasi
• Menggali kebudayaan daerah untuk menjadi kebudayaan nasional
• Membentuk jaringan asimilasi bagi berbagai kelompok etnis baik pribumi atau keturunan asing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar